MEMAHAMI KARAKTERISTIK ANAK DALAM MENGATASI MASALAH BELAJAR MURID DI SEKOLAH DASAR
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Keberhasilan proses pembelajaran di
sekolah antara lain ditentukan oleh ketepatan pemahaman guru terhadap
perkembangan murid. Pemahaman terhadap perkembangan murid tersebut, dapat
menjadi dasar bagi pengembangan strategi dan proses pembelajaran yang membantu
murid mengembangkan perilaku-perilakunya yang baru. Kenyataan menunjukkan bahwa
pada setiap murid memiliki karakteristik pribadi atau perilaku yang relatif
berbeda dengan murid lainnya. Keragaman perilaku ini mengandung implikasi akan
perlunya data dan pemahaman yang memadai terhadap setiap murid.
Menurut Piaget (1896-1980). Anak adalah
seorang yang aktif, membentuk atau menyusun pengetahuan mereka sendiri pada
saat mereka mengeksplorasi lingkungan dan kemudian tumbuh secara kognitif
terhadap pemikiran-pemikiran yang logis. Setiap murid khususnya di sekolah
dasar memiliki perbedaan antara satu dan lainnya, disamping persamaannya
perbedaan menyangkut kapasitas intelektual, keterampilan, motivasi, persepsi,
sikap, kemampuan minat, latar belakang kehidupan dalam keluarga, dan lain-lain.
Perbedaan ini cenderung akan mengakibatkan adanya perbedaan dalam belajar
setiap murid, baik dalam kecepatan belajarnya maupun keberhasilan yang dicapai
murid itu sendiri.
Perkembangan dan karakteristik anak pada usia sekolah dasar berbeda-beda.
Antara anak yang satu dengan anak yang lainnya, karakteristik anak pada masa
kelas rendah, berbeda pada masa kelas tinggi. Hal ini dapat dilihat dalam
proses pembelajaran anak usia sekolah dasar utamanya yang ada di kelas rendah
belum dapat mengembangkan keterampilan kognitifnya secara penuh, akan tetapi
anak di kelas tinggi sudah bisa mengembangkan keterampilan kognitif, dan sudah
dapat berfikir, berkreasi secara luas.
Murid datang ke sekolah dengan harapan agar bisa mengikuti pendidikan
dengan baik. Tetapi tidak selamanya demikian. Berbagai masalah yang mereka
hadapi, bersumber dari ketegangan karena ketidakmampuan mengerjakan tugas,
keinginan untuk bekerja sebaik-baiknya tetapi tidak mampu, persaingan dengan
teman, kemampuan dasar intelektual kurang, motivasi belajar yang lemah,
kurangnya dukungan orang tua, guru yang kurang ramah dan lain-lain.
Masalah tersebut tidak selalu dapat diselesaikan dalam situasi belajar
mengajar di kelas, melainkan memerlukan pelayanan secara khusus oleh guru di
luar situasi proses pembelajaran.
Gejala-gejala munculnya kesulitan belajar dapat diamati dalam berbagi
bentuk. Ia dapat muncul dalam bentuk perubahan perilaku yang menyimpang atau
dalam menurunnya hasil belajar perilaku yang menyimpang. Juga muncul dalam
berbagai bentuk seperti: suka mengganggu teman, merusak alat-alat pelajaran,
sukar memusatkan perhatian, sering termenung, menangis atau sering bolos.
Meskipun perilaku yang menyimpang dapat merupakan indikasi (petunjuk) adanya
kesulitan belajar, namun tidak semua perilaku yang menyimpang dapat disamakan
munculnya kesulitan belajar. Untuk membedakannya pengalaman guru dalam
menangani hal ini sangat diperlukan.
Faktor utama yang melandasi kebutuhan akan layanan bimbingan di SD ialah
faktor karakteristik dan masalah perkembangan siswa. Pendekatan perkembangan
dalam bimbingan merupakan pendekatan yang tepat digunakan di SD dalam mengatasi
masalah belajar, karena pendekatan ini lebih berorientasi kepada penciptaan
lingkungan perkembangan bagi murid, dan berdasar kepada suatu program layanan
yang terstruktur dan sistematis. Peran dan fungsi serta tanggung jawab guru di
SD selain mengajar juga perlu memperhatikan keragaman karakteristik perilaku
murid sebagai dasar penentuan jenis bantuan dan layanan dalam bimbingan belajar
baik secara individual maupun kelompok.
- Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah
diuraikan, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah “Bagaimana Memahami
Karakteristik Anak Dalam Mengatasi Masalah Belajar Murid Di Sekolah Dasar ?”.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Karakteristik Anak di Sekolah Dasar
1. Memahami Karakteristik
Anak di Sekolah Dasar
Masa usia SD (sekitar 6-12 Tahun) ini
merupakan tahapan perkembangan penting dan bahkan fundamental bagi kesuksesan
perkembangan selanjutnya. Karena itu, guru tidaklah mungkin mengabaikan
kehadiran dan kepentingan mereka. Ia akan selalu dituntut untuk memahami betul
karakteristik anak Sekolah Dasar . Karakteristik anak usia sekolah dasar secara
umum sebagaimana dikemukakan Bassett, Jacka, dan Logan (1983) berikut ini:
a. Mereka secara alamiah
memiliki rasa ingin tahu yang kuat dan tertarik akan dunia sekitar yang
mengelilingi mereka sendiri.
b. Mereka senang bermain
dan lebih suka bergembira/riang
c. Mereka suka mengatur
dirinya untuk menangani berbagai hal, mengeksplorasi suatu situasi dan
mencobakan usaha-usaha baru
d. Mereka biasanya tergetar
perasaannya dan terdorong untuk berprestasi sebagaimana mereka tidak suka
mengalami ketidak puasan dan menolak kegagalan-kegagalan
e. Mereka belajar secara
efektif ketika mereka merasa puas dengan situasi yang terjadi
f. Mereka belajar dengan
cara bekerja, mengobservasi, berinisiatif dan mengajar anak-anak lainnya.
Masa usia SD ada yang mengatakannya
sebagai masa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari usia 6 tahun hingga
kira-kira usia sebelas atau dua belas tahun. Usia ini ditandai dengan mulainya
anak masuk sekolah dasar, dan mulailah sejarah baru dalam kehidupannya yang
kelak akan mengubah sikap-sikap dan tingkah lakunya. Para pendidik mengenal
masa ini sebagai “Masa Sekolah”, oleh karena itu pada usia inilah anak untuk
pertama kalinya menerima pendidikan formal.
Seorang ahli berpendapat lagi bahwa masa usia sekolah adalah masa matang
untuk belajar, maupun masa matang untuk sekolah. Di sebut masa anak sekolah,
karena sudah menamatkan taman kanak-kanak. Disebut masa matang untuk belajar,
karena mereka sudah berusaha untuk mencapai sesuatu tetapi perkembangan
aktivitas bermain yang hanya bertujuan untuk mendapatkan kesenangan pada waktu
melakukan aktifitasnya itu sendiri. Disebut masa matang untuk bersekolah,
karena mereka sudah menginginkan kecakapan-kecakapan baru yang dapat diberikan
oleh sekolah. Ada yang berpendapat bahwa masa usia sekolah sering pula disebut
sebagai masa intelektual atau masa keserasian bersekolah. Pada masa keserasian
bersekolah ini secara relatif anak-anak lebih mudah dididik dari pada masa
sebelumnya dan sesudahnya. Menurut pendapat ini, masa keserasian bersekolah ini
dapat diperinci menjadi dua fase, yaitu :
a. Masa kelas-kelas rendah
sekolah dasar, kira-kira umur 6 atau 7 sampai umur 9 atau 10
Beberapa sifat khas anak-anak pada masa
ini antara lain :
1) Adanya korelasi positif
yang tinggi antara keadaan kesehatan pertumbuhan jasmani dan prestasi sekolah.
2) Adanya sikap yang
cenderung untuk mematuhi peraturan-peraturan permainan yang tradisional.
3) Ada kecenderungan memuji
sendiri.
4) Suka
membanding-bandingkan dirinya dengan anak lain, kalau hal itu dirasanya
menguntungkan untuk meremehkan anak lain.
5) Kalau tidak dapat
menyelesaikan sesuatu soal, maka soal itu dianggapnya tidak penting.
Pada masa ini (terutama pada umur 6-8 )
anak menghendaki nilai (angka rapor) yang baik, tanpa mengingat apakah
prestasinya memang pantas diberi nilai baik atau tidak.
b. Masa kelas-kelas tinggi
sekolah dasar, yaitu kira-kira umur 9 atau 10 sampai kira-kira umur 12 atau 13.
Beberapa sifat khas anak-anak pada masa
ini adalah sebagai berikut :
1) Adanya minat terhadap
kehidupan praktis sehari-hari yang konkrit; hal ini menimbulkan adanya
kecenderungan untuk membandingkan pekerjaan-pekerjaan yang praktis.
2) Amat realistik, ingin
tahu dan ingin belajar.
3) Menjelang akhir masa ini
telah ada minat terhadap hal-hal dan mata pelajaran khusus, yang oleh ahli-ahli
yang mengikuti teori faktor ditafsirkan sebagai mulai menonjolnya
faktor-faktor.
4) Sampai kira-kira umur 11
anak membutuhkan guru atau orang-orang dewasa lainnya, untuk menyelesaikan
tugasnya dan memenuhi keinginannya; setelah kira-kira umur 11 pada umumnya anak
menghadapi tugas-tugasnya dengan bebas dan berusaha menyelesaikannya sendiri.
5) Pada masa ini anak
memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran yang tepat mengenai prestasi
sekolah.
6) Anak-anak pada masa ini
gemar membentuk kelompok sebaya, biasanya untuk dapat bermain bersama-sama. Di
dalam permainan ini biasanya anak tidak lagi terikat kepada aturan permainan
yang tradisional; mereka membuat peraturan sendiri.
Dengan memperhatikan segi individualitas
dan karakteristik anak usia sekolah dasar serta berbagai dimensi
perkembangannya, maka seorang guru tidak asal suka begitu saja mengembangkan
pengajaran di sekolah/di kelasnya. Ia dituntut dalam mengembangkan sistem
pengajarannya, tidak menyimpang dari prinsip-prinsip psikologis yang ada.
Kenyataan ini, menjadi alasan kuat mengapa sistem pengajaran yang dikembangkan
guru diharapkan akan semakin dapat melayani kebutuhan peserta didik individual
(individually guided education) dan pengajaran itu benar-benar menjadi menarik
dan bermakna bagi anak.
2. Aspek-aspek Psikologis
dan Fisik dalam Memahami Karakteristik Anak di SD
Dalam memahami karakteristik anak di SD
maka aspek-aspek psikologis dan fisik yang penting dalam perkembangan pada masa
anak sekolah diuraikan antara lain beberapa cirinya seperti faktor intelektual,
faktor kognitif, faktor verbal dan faktor emosi.
1. Faktor Intelektual
Faktor intelektual dari murid ialah
kemampuan untuk berhubungan dengan lingkungan hidup dan dirinya sendiri dalam
bentuk suatu representasi, khususnya konsep dan berbagai lambang / simbol
(huruf, angka, kata, gambar).
Intelektualisme bisa diartikan sebagai akal atau pikiran. Pikiran mempunyai kedudukan yang boleh
dikata menentukan. Karena itulah kewajiban kita para pendidik, disamping
mengembangkan aspek-aspek lain dari anak-anak didik kita untuk memberikan
bimbingan sebaik-baiknya bagi perkembangan pikiran itu. Berfikir dan bahasa
adalah demikian erat hubungannya, karena itu perkembangan bahasa yang baik
adalah syarat yang harus dipenuhi untuk perkembangan pikiran yang baik. Pada
waktu murid belajar, murid juga dihadapkan pada suatu masalah yang harus
dipecahkan, namun tanpa melalui pengamatan dan ke organisasi dalam pengamatan.
Problem ini harus dipecahkan melalui operasi mental, khususnya menggunakan
konsep dan kaidah serta metode-metode bekerja tertentu. Proses jalannya
berfikir dari siswa melalui pembentukan pengertian logis, dimana siswa dalam
membentuk pengertian logis ini sebelumnya menganalisis ciri-ciri dari sejumlah
objek yang sejenis, kemudian membanding-bandingkan ciri-ciri mana yang tidak
sama, mana yang selalu ada atau tidak selalu ada, mana yang hakiki dan mana
yang tidak.
Menurut Gagne 1967 Kemahiran intelektual seseorang semakin meningkat,
dengan semakin menguasai cara berfikir yang tidak berperaga. Dalam berfikir
tidak berperaga sangat menonjollah manfaat dari apa yang disebut “Kemahiran
Intelektual”, dimana orang memperoleh pemahaman dan menggunakan konsep, kaidah
dan prinsip. Di sini pula terdapat “Berfikir Intelektual” yaitu berfikir dengan
mencari dan menggunakan pemahaman melalui penguasaan konsep dan relasi-relasi
antara konsep itu. Demikian juga pemahaman semacam itu disebut “Pemahaman
Intelektual”.
2. Faktor Kognitif
Ciri khasnya terletak dalam belajar
memperoleh dan menggunakan bentuk-bentuk representasi yang mewakili objek-objek
yang dihadapi, entah objek itu orang, benda atau kejadian / peristiwa. Oleh
karena itu kemampuan kognitif ini, murid dapat menghadirkan realitas dunia di
dalam dirinya sendiri, dari hal-hal yang bersifat material dan berperaga
seperti perabot rumah tangga, kendaraan, bangunan dan orang, sampai hal-hal
yang tidak bersifat material dan berperaga seperti ide “Keadilan, Kejujuran”
dan lain sebagainya. Jelaslah kiranya, bahwa semakin banyak pikiran dan gagasan
dimiliki seseorang, semakin kaya dan luaslah alam pikiran kognitif orang itu.
Adapun termasuk dalam aktivitas kognitif ini yaitu :
1. Mengingat adalah suatu
aktivitas kognitif, dimana orang menyadari bahwa pengetahuannya berasal dari
masa lampau atau berdasarkan kesan-kesan yang diperoleh dimasa lampau. Ada dua
bentuk mengingat yaitu : mengenal kembali dan mengingat kembali. Murid dapat
belajar untuk mengingat kembali dengan lebih baik, terutama dengan
memperlihatkan dan mempelajari materi yang harus diingat kelak dengan
sungguh-sungguh.
2. Berfikir, siswa
berhadapan dengan objek-objek yang diwakili dalam kesadaran. Jadi, orang tidak
langsung menghadapi objek secara fisik seperti terjadi dalam mengamati sesuatu
bila melihat, mendengar dan meraba. Dalam berfikir, objek hadir dalam bentuk
representasi. Bentuk-bentuk representasi yang paling pokok adalah tanggapan
pengertian atau konsep dan lambang verbal.
3. Faktor Verbal
Yang dimaksudkan faktor verbal pada masa
usia sekolah adalah pengetahuan yang dimiliki seseorang dan dapat diungkapkan
dalam bahasa. Oleh karenanya masa pra sekolah merupakan periode yang kritis
dalam pola pengembangan bahasa anak. Masa pra sekolah atau masa kanak-kanak
akhir merupakan usia yang ideal untuk belajar keterampilan-keterampilan yang
tidak hanya berguna baginya pada masa itu akan tetapi juga merupakan pondasi
bagi keterampilan-keterampilan tinggi yang terkoordinasi yang diperlukan di
kemudian hari. Anak merasa senang mengulang-ulang sesuatu kegiatan sampai
benar-benar menguasainya. Ia suka berpetualang, tidak merasa takut terhadap
ancaman-ancaman bahaya ataupun cemoohan teman-teman.
4. Faktor Emosional
Masa pra sekolah merupakan periode
memuncaknya emosi yang ditandai dengan munculnya “Tantramus” rasa takut yang
kuat, dan meledaknya cemburu yang tidak beralasan. Pada masa ini telah terlihat
perbedaan-perbedaan dalam emosi dan pola ekspresinya dapat ditafsirkan dengan
segera. Ketegangan emosi pada anak-anak ini sebagian disebabkan oleh kelelahan
karena terlalu lama bermain, kurang tidur siang, dan terlalu sedikit makan
sehingga tidak sesuai dengan kebutuhan jasmaniah. Kebanyakan anak-anak merasa
bahwa mereka sanggup melakukan lebih banyak lagi daripada apa yang
diperbolehkan orang tua dan mereka membangkang terhadap pembatasan-pembatasan
yang diberlakukan terhadap dirinya.
Menginjak masa sekolah, anak segera menyadari bahwa pengungkapan emosi
secara kasar tidaklah diterima di masyarakat. Dengan demikian ia mempunyai
motivasi yang kuat untuk belajar mengendalikan, dan mengungkapkan emosinya.
Stagner 1961
menunjukkan bahwa jika guru selalu dalam ketegangan psikologis maka
murid-muridnya pun mengalami ketegangan psikologis seperti yang dialami
gurunya. Guru yang pemarah, pengomel dan cerewet, menyebabkan muridnya meniru
tingkah laku gurunya itu, dan hal ini menimbulkan gangguan perkembangan emosi
anak.
Semakin bertambah umur anak, ia akan memperlihatkan pengulangan respon
emosionalnya yang semakin meningkat yang dikenal oleh orang dewasa sebagai
gembira, marah, takut, cemburu, bahagia, ingin tahu, iri dan benci.
Bentuk-bentuk tingkah laku emosional ini dapat ditimbulkan oleh berbagai macam
rangsangan yang luas, termasuk manusia, benda dan situasi pada mulanya tidak
berpengaruh.
Emosi-emosi yang telah disebutkan di atas tidaklah merupakan emosi yang
siap sedia atau siap pakai sejak lahir. Emosi itu harus berkembang dan
dikembangkan. Perlindungan emosional dipengaruhi oleh dua fakta yakni
kematangan dan belajar. Jadi, oleh kedua-duanya, bukan hanya oleh satu dari
padanya.
Kenyataan bahwa reaksi emosional tertentu tidak muncul sejak awal
kehidupan, tidak berarti bahwa itu tidak dibawa sejak lahir. Mungkin emosi itu
akan berkembang belakangan sesuai dengan kematangan intelegensi si anak atau
bersamaan dengan perkembangan sistem indoktrin. Melalui belajar, objek dan
situasi yang pada mulanya tidak menimbulkan respons emosional di kemudian hari
mungkin menimbulkan respons rasional. Jenis-jenis emosi yang umum pada masa
kanak-kanak yaitu :
1) Takut
Adanya rasa takut pada anak-anak adalah baik selama rasa takut itu tidak
terlalu kuat dan hanya merupakan peringatan terhadap bahaya. Sayangnya
kebanyakan anak-anak belajar takut terhadap hal-hal yang tidak berbahaya, dan
rasa takut ini menjadi penghambat terhadap tindakan yang mungkin sekali sangat
berguna ataupun menyenangkan.
2) Cemas
Cemas ialah suatu bentuk rasa takut yang bersifat khayalan. Jadi bukan rasa
takut yang disebabkan stimulus dari lingkungan si anak. Kecemasan ini mungkin
datangnya dari situasi-situasi yang dikhayalkan / diimajinasikan akan terjadi.
Tapi dapat pula asalnya dari buku-buku, film, komik, radio, ataupun cara-cara
rekreasi populer lainnya
3) Marah
Marah merupakan reaksi emosional yang lebih sering terjadi pada masa kanak-kanak
oleh karena :
a. Lebih banyak stimulus
yang menimbulkan kemarahan dalam kehidupan anak daripada stimulus yang
menimbulkan rasa takut
b. Banyak anak-anak yang
pada usia muda telah menemukan bahwa marah merupakan cara yang baik untuk
mendapatkan perhatian atau memuaskan keinginannya.
4) Cemburu
Cemburu merupakan respon yang normal terhadap kehilangan nyata ataupun
ancaman terhadap kehilangan kasih sayang.
5) Kegembiraan, Kesenangan
dan Kenikmatan.
Kegembiraan dalam bentuknya yang lebih lunak dikenal sebagai ketenangan,
kenikmatan atau kebahagiaan, merupakan emosi yang positif oleh karena individu
yang mengalaminya tidak melakukan usaha untuk menghilangkan situasi yang
menimbulkannya.
6) Kasih Sayang
Kasih sayang atau cinta adalah reaksi emosional yang ditujukan terhadap
seseorang atau suatu benda. Kasih sayang anak terhadap orang lain terjadi
secara spontan dapat ditimbulkan oleh suatu stimulasi sosial yang minim
sekalipun.
7) Ingin Tahu
Minat terhadap lingkungan sangat terbatas selama usia dua atau tiga bulan
pertama dari kehidupan terkecuali bila stimulus yang kuat ditujukan terhadap si
bayi. Setelah usia itu, apa saja yang baru atau aneh baginya, pasti akan
menimbulkan rasa ingin tahu.
3. Faktor Pendukung
Keberhasilan Guru dalam Memahami Karakteristik Anak
Usaha memahami anak didik akan berhasil
dengan baik, jika guru memiliki sifat-sifat, kemampuan, dan keterampilan
tertentu yang merupakan faktor pendukung keberhasilannya. Oleh karena itu guru perlu memiliki faktor-faktor
pendukung tersebut. Faktor-faktor pendukung yang dimaksudkan adalah sebagai
berikut :
a. Kasih sayang yang dalam
kepada anak didik, terutama anak yang mengalami kegagalan dan menampilkan
tingkah laku yang menyimpang dalam belajar. Kasih sayang tanpa pamrih, menjadi
tenaga pendorong yang sangat kuat bagi guru untuk membantu anak didik, sehingga
keseriusan dalam melaksanakan usaha memahami anak terjadi.
b. Kesadaran akan tanggung
jawabnya untuk membantu perkembangan anak. Guru menyadari bahwa tugasnya adalah
menjadikan anak didiknya berkembang optimal, maka ia pun menyadari bahwa salah
satu tugasnya yang penting adalah membantu anak agar dapat mengatasi kesulitan
yang dialami dalam mencapai perkembangan yang optimal.
c. Kesabaran yang tinggi
dalam melakukan usaha memahami, maupun menunggu hasil usaha. Memahami anak
memerlukan waktu yang relatif panjang dan ketekunan. Hal ini disebabkan guru
bekerja dengan “jiwa”, atau tingkah laku yang sangat kompleks. Tingkah laku
anak yang ditampilkannya sekarang bukanlah terbentuk semalam, tetapi melalui
sejarah perkembangan yang panjang. Itu pula sebabnya guru perlu melakukan
berbagai cara untuk memahami anak, sehingga data dan informasi yang lengkap
dapat diketahui guru.
d. Keterampilan untuk
melaksanakan berbagai cara atau teknik memahami anak seperti yang telah
dikemukakan sebelumnya. Misalnya keterampilan melaksanakan wawancara;
pengamatan dan pendekatan terhadap anak. Untuk itu guru perlu latihan terus
menerus tanpa mengenal bosan, kecewa atau putus asa.
e. Keterampilan dalam
mengadministrasikan data anak, dan kemampuan menerjemahkan data sehingga
menjadi informasi yang jelas tentang anak.
B. Masalah Belajar Murid SD
1. Definisi Masalah Belajar
Sebelum membahas lebih lanjut tentang
masalah belajar, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui definisi masalah
belajar. Apakah itu masalah ? banyak ahli mengemukakan pengertian masalah. Ada
yang melihat masalah sebagai ketidaksesuaian antara harapan dengan kenyataan,
ada yang melihat sebagai tidak terpenuhinya kebutuhan seseorang, dan adapula
yang mengartikannya sebagai suatu hal yang tidak mengenakan. Prayitno (1985)
mengemukakan bahwa masalah adalah sesuatu yang (1) tidak disukai adanya, (2)
menimbulkan kesulitan bagi diri sendiri dan atau orang lain, (3) ingin atau
perlu dihilangkan.
Sedangkan menurut pengertian secara psikologis, belajar merupakan suatu
proses perubahan yaitu perubahan dalam tingkah laku sebagai hasil dari
interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pengertian belajar dapat didefinisikan sebagai berikut : “Belajar ialah
sesuatu proses yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah
laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu
sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”.
“Belajar adalah proses perubahan pengetahuan atau perilaku sebagai hasil
dari pengalaman. Pengalaman ini terjadi melalui interaksi antara individu
dengan lingkungannya” ( Anita E, Wool Folk, 1995 : 196 ).
Menurut ( Garry dan Kingsley, 1970 : 15 ) “Belajar adalah proses tingkah
laku ( dalam arti luas), ditimbulkan atau diubah melalui praktek dan latihan”.
Dari definisi di
atas nampak bahwa belajar merupakan perubahan perilaku yang disebabkan oleh
karena individu mengadakan interaksi dengan lingkungan. Akan tetapi ternyata
tidak semua perubahan perilaku merupakan hasil belajar, artinya ada perubahan
perilaku yang dipandang sebagai bukan hasil belajar.
Sedangkan menurut Gagne (1984: 77) bahwa “belajar adalah suatu proses
dimana suatu organisasi berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman”.
Dari definisi masalah dan belajar maka masalah belajar dapat diartikan atau
didefinisikan sebagai berikut : Masalah belajar adalah suatu kondisi tertentu
yang dialami oleh murid dan menghambat kelancaran proses yang dilakukan
individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara
keseluruhan”. Kondisi tertentu itu dapat berkenaan dengan keadaan dirinya yaitu
berupa kelemahan-kelemahan dan dapat juga berkenaan dengan lingkungan yang
tidak menguntungkan bagi dirinya. Masalah-masalah belajar ini tidak hanya
dialami oleh murid-murid yang lambat saja dalam belajarnya, tetapi juga dapat
menimpa murid-murid yang pandai atau cerdas.
Merujuk kepada pengertian masalah belajar di atas serta terhadap kriteria
keberhasilan belajar murid, maka jenis-jenis masalah belajar di sekolah dasar
dapat dikelompokkan kepada murid-murid yang mengalami
1. Keterlambatan akademik,
yaitu keadaan murid yang diperkirakan memiliki intelegensi yang cukup tinggi,
tetapi tidak dapat memanfaatkannya secara optimal.
2. Ketercepatan dalam belajar,
yaitu keadaan murid yang memiliki bakat akademik yang cukup tinggi atau
memiliki I Q 130 atau lebih, tetapi masih memerlukan tugas-tugas khusus untuk
memenuhi kebutuhan dan kemampuan belajarnya yang amat tinggi.
3. Sangat lambat dalam
belajar, yaitu keadaan murid yang memiliki bakat akademik yang kurang memadai
dan perlu dipertimbangkan untuk mendapat pendidikan atau pengajaran khusus .
4. Kurang motivasi dalam
belajar, yaitu keadaan murid yang kurang bersemangat dalam belajar, yaitu
keadaan murid yang kurang bersemangat dalam belajar, maka seolah-olah tampak
jera dan malas.
5. Bersikap dan kebiasaan
buruk dalam belajar, yaitu kondisi murid yang kegiatannya atau perbuatan
belajarnya sehari-hari antagonistik dengan seharusnya, seperti suka menunda-nunda
tugas, mengulur-ulur waktu, membenci guru, tidak mau bertanya untuk hal-hal
yang tidak diketahui, dan sebagainya.
6. Sering tidak sekolah,
yaitu murid-murid yang sering tidak hadir atau menderita sakit dalam waktu yang
cukup lama sehingga kehilangan sebagian besar kegiatan belajarnya.
2. Mengidentifikasi murid
yang diperkirakan mengalami masalah belajar.
Murid yang mengalami masalah belajar, dapat diidentifikasi melalui tes
hasil belajar, tes kemampuan dasar, skala pengungkapan sikap dan kebiasaan belajar.
1. Tes Hasil Belajar
Tes hasil belajar adalah alat yang disusun untuk mengungkapkan sejauh mana
murid telah mencapai tujuan-tujuan pengajaran yang ditetapkan sebelumnya
murid-murid dikatakan telah mencapai tujuan pengajaran apabila dia telah
menguasai sebagian besar materi yang berhubungan dengan tujuan pengajaran yang
telah ditetapkan. Ketentuan ini merupakan penerapan dari belajar tuntas (
mastery learning ) yang didasarkan pada asumsi bahwa setiap murid dapat
mencapai hasil belajar sesuai yang diharapkan jika diberi waktu yang cukup dan
bimbingan yang memadai untuk mempelajari bahan yang disajikan. Ketentuan
penguasaan bahan ditentukan dengan menetapkan patokan, yaitu presentasi minimal
yang harus dicapai oleh murid yang belum menguasai bahan pelajaran sesuai
dengan patokan yang ditetapkan, dikatakan belum menguasai tujuan pengajaran.
Murid yang seperti ini digolongkan sebagai murid yang mengalami masalah
belajar dan memerlukan bantuan khusus, sedangkan murid yang sudah menguasai
secara tuntas semua bahan-bahan yang disajikan sebelum batas waktu yang
ditetapkan berakhir, digolongkan sebagai murid yang sangat cepat dalam belajar.
Mereka ini patut untuk mendapatkan pelajaran tambahan.
2. Tes Kemampuan Dasar
Setiap murid mempunyai kemampuan dasar atau kecerdasan tertentu. Tingkat
kemampuan ini biasanya diukur atau diungkapkan dengan menggunakan tes
kecerdasan yang sudah baku.
Diasumsikan bahwa anak normal, memiliki tingkat kecerdasan (IQ) antara
90-109. Hasil yang dicapai murid hendaknya dapat mencerminkan tingkat kemampuan
yang dimilikinya. Murid yang kemampuan dasarnya tinggi akan mencapai hasil
belajar yang tinggi pula. Bilamana seseorang murid mencapai hasil belajar yang
lebih rendah dari tingkat kecerdasan yang dimilikinya, maka murid yang bersangkutan
digolongkan sebagai yang mengalami masalah belajar. ( menurut Gagne 1967 ).
3. Skala Sikap dan
Kebiasaan Belajar
Sikap dan kebiasaan belajar merupakan salah satu faktor yang penting dalam
belajar. Sebagian dari hasil belajar, ditentukan oleh sikap dan kebiasaan yang
dilakukan oleh murid dalam belajar. Kebiasaan belajar menunjuk pada bentuk dan
pola perilaku yang dilakukan terus menerus oleh murid dalam belajar.
Sebagian dari sikap kebiasaan belajar murid, dapat diketahui melalui
pengamatan yang dilakukan di dalam kelas. Misalnya, dalam hal mengerjakan
tugas-tugas, membaca buku, membuat catatan dan kegiatan-kegiatan lain yang
berhubungan dengan belajar murid. Tetapi pengamatan biasanya terbatas pada
sikap dan kebiasaan yang diterima oleh alat indera. Untuk mengungkapkan sikap
dan kebiasaan yang lebih luas telah dikembangkan beberapa alat berupa “skala
sikap dan kebiasaan belajar”. Alat ini akan dapat mengungkapkan derajat cara
murid mengerjakan tugas-tugas sekolah, sikap terhadap guru, sikap dalam menerima
pelajaran dan kebiasaan dalam melaksanakan kegiatan belajar.
3. Faktor-faktor Penyebab
Terjadinya Masalah Belajar Murid di Sekolah Dasar.
Kesulitan belajar ini merupakan suatu
gejala yang nampak dalam berbagai jenis pernyataan ( manifestasi ). Karena guru
bertanggung jawab terhadap proses belajar-mengajar, maka ia seharusnya memahami
manifestasi gejala-gejala kesulitan belajar. Pemahaman ini merupakan dasar
dalam usaha memberikan bantuan kepada murid yang mengalami kesulitan belajar.
Pada dasarnya dari setiap jenis-jenis masalah, khususnya dalam masalah
belajar murid di SD, cenderung bersumber dari faktor-faktor yang
melatarbelakanginya ( penyebabnya ). Seorang guru setelah mengetahui siapa
murid yang bermasalah dalam belajar serta jenis masalah apa yang dihadapinya.
Selanjutnya guru dapat melaksanakan tahap berikutnya, yaitu mencari sebab-sebab
terjadinya masalah yang dialami murid dalam belajar. Meskipun seorang guru
tidak mudah menentukan sebab-sebab terjadi masalah yang sesungguhnya, karena
masalah belajar cenderung sangat kompleks.
Pada garis besarnya sebab-sebab timbulnya masalah belajar pada murid dapat
dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu :
a. Faktor-faktor Internal
(faktor-faktor yang berada pada diri murid itu sendiri), antara lain :
1) Gangguan secara fisik,
seperti kurang berfungsinya organ-organ perasaan, alat bicara, gangguan panca
indera, cacat tubuh, serta penyakit menahan ( alergi, asma, dan sebagainya)
2) Ketidakseimbangan mental
( adanya gangguan dalam fungsi mental ), seperti menampakkan kurangnya
kemampuan mental, taraf kecerdasannya cenderung kurang.
3) Kelemahan emosional,
seperti merasa tidak aman, kurang bisa menyesuaikan diri, tercekam rasa takut,
benci, dan antipati serta ketidakmatangan emosi.
4) Kelemahan yang
disebabkan oleh kebiasaan dan sikap salah seperti kurang perhatian dan minat
terhadap pelajaran sekolah, malas dalam belajar, dan sering bolos atau tidak
mengikuti pelajaran.
b. Faktor Eksternal (
faktor-faktor yang timbul dari luar diri individu ), yaitu berasal dari :
1) Sekolah, antara lain :
a) Sifat kurikulum yang
kurang fleksibel
b) Terlalu berat beban
belajar (murid) dan atau mengajar (guru)
c) Metode mengajar yang
kurang memadai
d) Kurangnya alat dan
sumber untuk kegiatan belajar
2) Keluarga (rumah), antara
lain :
a) Keluarga tidak utuh atau
kurang harmonis
b) Sikap orang tua yang
tidak memperhatikan pendidikan anaknya
c) Keadaan ekonomi.
Menurut Lindgren, (1967 : 55) bahwa lingkungan sekolah, terutama guru. Guru
yang akrab dengan murid, menghargai usaha-usaha murid dalam belajar dan suka
memberi petunjuk kalau murid menghadapi kesulitan, akan dapat menimbulkan
perasaan sukses dalam diri muridnya dan hal ini akan menyuburkan keyakinan diri
dalam diri murid. Melalui contoh sikap sehari-hari, guru yang memiliki
penilaian diri yang positif akan ditiru oleh muridnya, sehingga murid-muridnya
juga akan memiliki penilaian diri yang positif.
Jadi jelaslah bahwa guru yang kurang akrab dengan murid, kurang menghargai
usaha-usaha murid maka murid akan merasa kurang diperhatikan dan akan
mengakibatkan murid itu malas belajar atau kurangnya minat belajar sehingga
anak itu akan mengalami kesulitan belajar. Keberhasilan seorang murid
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari sekolah seperti guru yang
harus benar-benar memperhatikan peserta didiknya.
Menurut Belmon dan Morolla (1971 : 107) menyimpulkan dari hasil
penelitiannya, bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga yang banyak jumlah
anak, mempunyai keterampilan intelektual lebih rendah daripada anak-anak yang
berasal dari keluarga yang jumlah anaknya sedikit.
\
4. Upaya-upaya Membantu
Murid dalam Mengatasi Masalah Belajar.
Murid yang mengalami masalah belajar perlu
mendapatkan bantuan agar masalahnya tidak berlarut-larut yang nantinya dapat
mempengaruhi proses perkembangan murid. Beberapa upaya yang dapat dilakukan
adalah dengan :
a. Pengajaran Perbaikan.
Pengajaran perbaikan merupakan suatu bentuk pengajaran yang bersifat
menyembuhkan atau membetulkan, pengajaran yang membuat menjadi baik. Pengajaran
perbaikan merupakan bentuk khusus pengajaran yang bermaksud untuk menyembuhkan,
membetulkan atau membuat menjadi baik.
Pengajaran perbaikan dapat dilakukan kepada seseorang atau sekelompok murid
yang menghadapi masalah belajar dengan maksud untuk memperbaiki kesalahan dalam
proses dan hasil belajar mereka.
Dibanding dengan pengajaran biasa, pengajaran perbaikan sifatnya lebih
khusus, karena bahan, metode dan pelaksanaannya disesuaikan dengan jenis, sifat
dan latar belakang masalah yang dihadapi murid. Di samping itu, bekerja dengan
murid-murid yang menghadapi masalah belajar banyak sedikitnya berbeda dengan
murid yang mengikuti pelajaran di kelas biasa. Kalau di dalam kelas biasa unsur
emosional dapat dikurangi, sedangkan murid yang sedang mengalami masalah
belajar justru sebaliknya, ia mungkin dihinggapi perasaan takut, cemas, tidak
tentram, bingung, bimbing dan sebagainya
b. Kegiatan Pengayaan
Kegiatan pengayaan merupakan satu bentuk layanan yang diberikan kepada
seorang atau beberapa orang murid yang sangat cepat dalam belajar. Mereka
memerlukan tugas-tugas tambahan yang terencana untuk menambah dan memperluas
pengetahuan dan keterampilan yang telah dimilikinya dalam kegiatan sebelumnya.
Murid yang cepat belajar hampir selalu dapat mengerjakan tugas-tugas lebih cepat
dibandingkan dengan teman-temannya dalam waktu yang ditetapkan.
Kecepatan belajar yang tinggi akan mempunyai dampak positif apabila murid
merasa dirinya diperhatikan dan dihargai atas keberhasilan dan kemampuannya
dalam belajar. Selanjutnya ia akan berusaha untuk mewujudkan dirinya secara
lebih baik sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimilikinya. Sebaliknya
kecepatan belajar akan mempunyai dampak negatif apabila murid merasa kurang
diperhatikan dan kurang dihargai. Mereka cenderung patah hati, tidak
bersemangat, jera dan sebagainya. Dalam hubungannya dengan murid-murid lain,
mereka mungkin menjadi murid yang menganggu atau salah tingkah. Hal ini mungkin
akan dapat menimbulkan menurunnya prestasi belajar mereka.
c. Peningkatan Motivasi
Belajar
Motivasi berfungsi sebagai motor penggerak aktivitas bila motor tidak ada,
maka aktivitas tidak akan terjadi motornya lemah, aktivitas yang terjadi pun
lemah pula.
Motivasi berkaitan erat dengan tujuan yang hendak dicapai oleh murid yang
sedang belajar itu sendiri. Bila seseorang yang sedang belajar menyadari bahwa
tujuan yang hendak dicapai berguna atau bermanfaat baginya, maka motivasi
belajar akan muncul dengan kuat. Motivasi belajar seperti itu disebut motivasi
instrinstik atau motivasi internal. Jadi munculnya motivasi instrinstik dalam
belajar, karena siswa ingin menguasai kemampuan yang terkandung di dalam tujuan
pembelajaran.
Motivasi intrinstik disebut pula motivasi murni, karena muncul dari
dirinya. Oleh karena itu sedapat mungkin guru harus berusaha memunculkan
motivasi intrinstik dikalangan para siswa pada saat mereka belajar, umpamanya
dengan cara menjelaskan kaitan tujuan pembelajaran dengan kepentingan dan
kebutuhan siswa.
Memunculkan motivasi intrinstik dikalangan siswa-siswa kelas rendah memang
agak sulit karena pada umumnya mereka belum menyadari akan pentingnya pelajaran
yang mereka pelajari.
Motivasi belajar pada hakikatnya merupakan kekuatan mental yang mendorong
terjadinya proses belajar pada diri siswa. Apabila motivasi belajar kuat, maka
kegiatan belajarnya akan meningkat, sebaliknya apabila motivasinya lemah maka
kan melemahkan kegiatan belajarnya, dan berakibat mutu hasil belajarnya akan
rendah. Artinya tujuan belajar tidak tercapai sebagaimana mestinya.
Kuat lemahnya motivasi belajar siswa banyak dipengaruhi oleh beberapa
faktor, baik yang berasal dari dalam diri siswa itu sendiri (intrinstik) maupun
yang berasal dari luar diri siswa (ekstrinstik). Motivasi belajar yang sangat
diharapkan terjadi yaitu motivasi yang timbul dari diri siswa itu sendiri,
sebab motivasi ini memiliki kekuatan yang lebih lama, lebih baik, dibandingkan
motivasi lainnya. Motivasi yang diupayakan oleh guru juga sebenarnya harus
diarahkan kepada terjadinya motivasi dari dalam (instrinstik). Mengapa demikian
? apabila siswa sudah memiliki motivasi pribadi dalam belajar
Maka sebenarnya tugas guru akan lebih ringan, sebab siswa akan belajar
dengan sendirinya, misalnya dengan mencari sendiri, melakukan sendiri,
menemukan sendiri dengan bantuan guru yang sedikit. Hal ini berarti tujuan
belajar dapat tercapai dengan lebih efektif.
Pengajaran di kelas harus mempertinggi motivasi instrinstik sebanyak
mungkin. Ini secara sederhana berarti bahwa guru harus mencoba agar siswa-siswi
mereka tertarik dengan materi pelajaran yang mereka sampaikan, dan kemudian
dalam menyampaikan materi ini harus dengan cara-cara menarik yang membuat siswa
merasa puas dan menambah keingintahuan pada materi itu sendiri.
Menurut Wlodkowski (1982: 361) salah satu cara untuk mengorganisasi
informasi yang jumlah banyak adalah memilih faktor-faktor yang mempengaruhi
motivasi pada saat-saat yang berbeda dalam proses belajar.
Sebagai seorang guru, motivasi berprestasi mungkin dapat membantu dalam
merencanakan kegiatan-kegiatan, dimana siswa membutuhkan untuk berprestasi dan
menghindari kegagalan. Menurut teori ini siswa yang bermotivasi tinggi untuk
mencapai prestasi akan merespon dan menantang lebih banyak terhadap tugas-tugas
yang diberikan guru, mendapat nilai-nilai yang baik, memberikan umpan balik
yang jitu dan benar, menyampaikan masalah-masalah yang baru dan tidak biasa,
dan mencari kesempatan untuk mencoba lagi. Guru dan staf sekolah lainnya
berkewajiban membantu murid meningkatkan motivasinya dalam belajar. Prosedur
yang dapat dilakukan adalah dengan:
1) Memperjelas
tujuan-tujuan belajar. Murid akan terdorong untuk belajar apabila ia mengetahui
tujuan-tujuan belajar yang hendak dicapai
2) Menyesuaikan pengajaran
dengan bakat, kemampuan dan minat murid
3) Menciptakan suasana
pembelajaran yang menantang, merangsang dan menyenangkan
4) Memberikan hadiah
(penguatan) dan hukuman yang bersifat membimbing, yaitu yang menimbulkan efek
peningkatan bilamana perlu.
5) Menciptakan suasana
hubungan yang hangat dan dinamis antara guru dan murid, serta antara murid dengan
murid.
6) Menghindari
tekanan-tekanan dan suasana yang tidak menentu seperti suasana yang menakutkan,
mengecewakan, membingungkan , dan menjengkelkan
7) Melengkapi sumber dan
peralatan belajar
8) Mempelajari hasil
belajar yang diperoleh
d. Peningkatan Keterampilan
Belajar
Prosedur dapat
dilakukan diantaranya ialah dengan:
1) Membuat catatan
waktu guru mengajar
2) Membuat
ringkasan dari bahan yang dibaca
3) Mengerjakan
latihan-latihan soal
e. Pengembangan Sikap dan
Kebiasaan Belajar yang Baik
Setiap murid diharapkan menerapkan sikap dan kebiasaan belajar yang
efektif. Tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya murid yang memiliki sikap dan
kebiasaan belajar yang tidak diharapkan. Apabila murid memiliki sikap dan
kebiasaan belajar yang tidak baik dikhawatirkan murid tidak akan mencapai
prestasi belajar yang baik, karena hasil belajar yang baik itu diperoleh
melalui usaha yang dilakukan oleh murid yang baik. Sikap dan kebiasaan belajar
yang baik tidak tumbuh secara kebetulan, melainkan seringkali perlu ditumbuhkan
melalui bantuan yang terencana, terutama oleh guru-guru, dan orang tua murid.
Untuk itu murid hendaknya dibantu dalam hal:
1) Menemukan motif-motif
yang tepat dalam belajar
2) Memelihara kondisi
kesehatan yang baik
3) Mengatur waktu belajar
baik di sekolah maupun di rumah
4) Memilih tempat belajar
yang baik
5) Belajar dengan
menggunakan sumber belajar yang baik
6) Membaca secara baik dan
sesuai dengan kebutuhan
C. Peranan Guru dalam Memahami Karakteristik
Anak dalam Mengatasi Masalah Belajar Murid
Sebagai seorang guru yang profesional
harus memahami betul karakteristik anak, karena setiap murid khususnya di
sekolah dasar memiliki perbedaan antara satu dan lainnya. Disinilah peran dan
fungsi serta tanggung jawab guru di SD, selain mengajar juga perlu memperhatikan
keragaman karakteristik. Perilaku murid, sehingga peran guru bukan hanya
sebagai pengajar akan tetapi guru juga mempunyai tugas sebagai motivator atau
pendorong, sebagai pembimbing dan memberi fasilitas belajar bagi murid-murid
untuk mencapai tujuan.
Apabila guru menjalankan peranannya dengan sebaik-baiknya maka masalah
belajar bagi murid SD akan mudah diatasi. Guru mempunyai tanggung jawab untuk
melihat segala sesuatu yang terjadi dalam kelas untuk membantu proses
perkembangan anak. Secara lebih terperinci tugas guru berpusat pada:
1. Mendidik anak dengan
titik berat memberikan arah dan motivasi pencapaian tujuan, baik jangka panjang
maupun jangka pendek.
2. Memberi fasilitas
pencapaian tujuan melalui pengalaman belajar yang memadai.
3. Membantu perkembangan
aspek-aspek pribadi seperti sikap, nilai-nilai dan penyesuaian diri.
Demikianlah, dalam proses belajar mengajar guru tidak terbatas sebagai
penyampai ilmu pengetahuan akan tetapi lebih dari itu, ia bertanggung jawab
akan keseluruhan perkembangan kepribadian murid. Ia harus mampu menciptakan
proses belajar yang sedemikian rupa sehingga dapat merangsang murid untuk
belajar secara aktif dan dinamis dalam memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan.
Selanjutnya dalam peranannya sebagai direktur (pengarah) belajar, hendaknya
guru senantiasa berusaha untuk menimbulkan, memelihara, dan meningkatkan
motivasi anak untuk belajar.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa motif berprestasi mempunyai korelasi
positif dan cukup berarti terhadap, pencapaian prestasi belajar. Hal ini
berarti bahwa tinggi rendahnya prestasi belajar banyak ditentukan oleh tinggi
rendahnya motif berprestasi. Dalam hubungan ini guru mempunyai fungsi sebagai
motivator dalam keseluruhan kegiatan belajar mengajar. Ada 4 hal yang dapat
dikerjakan guru dalam memberikan motivasi yaitu:
1. Membangkitkan dorongan
kepada siswa untuk belajar
2. Menjelaskan secara
konkrit kepada siswa apa yang dapat dilakukan pada akhir pengajaran
3. Memberikan ganjaran
terhadap prestasi yang dicapai sehingga dapat merangsang untuk mencapai
prestasi yang lebih baik di kemudian hari
4. Membentuk kebiasaan belajar yang baik
Sebagai direktur belajar pendekatan yang
dipergunakan dalam proses belajar mengajar tidak hanya melalui pendekatan
instruksional akan tetapi disertai dengan pendekatan pribadi. Melalui
pendekatan pribadi ini diharapkan guru dapat mengenal dan memahami murid secara
lebih mendalam sehingga dapat membantu dalam keseluruhan proses belajarnya.
Dengan perkataan lain, sebagai direktur belajar guru sekaligus berperanan
sebagai pembimbing dalam proses belajar mengajar. Sebagai pembimbing dalam
belajar, guru diharapkan mampu untuk:
1. Mengenal dan memahami setiap murid baik secara
individual maupun kelompok
2. Memberikan penerangan kepada murid menangani hal-hak yang
diperlukan dalam proses belajar
3. Memberikan kesempatan yang memadai agar setiap murid
dapat belajar sesuai dengan kemampuan pribadinya
4. Membantu setiap murid dalam mengatasi masalah-masalah
pribadi yang dihadapinya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar